Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

 

Sunday, September 03, 2006

Terapi Anti Sombong

Anda pernah dicap sombong oleh orang lain? Kalau belum alhamdulillah. Sebab saya pernah dicap sombong sama tetangga sendiri. Kata tetangga saya, pas kami berpapasan dalam sebuah kesempatan, Ia pernah ‘melemparkan’ senyumnya kepada saya. Tapi apa lacur, dasar tak tahu diuntung… bukannya membalas senyumnya, malah saya memalingkan muka. Pantas saja kalau tetangga saya sakit hati. Syukurlah, dalam sebuah kesempatan dia menyampaikan kekesalannya. Kalau tidak, seumur hidup mungkin saya akan terus dicap sombong sama dia. “Saya pernah lho ‘melempar’ senyum sama kakak tapi malah dibuangin muka” kata gadis itu pada saya. Mendengar komplainnya, tanpa rasa berdosa saya hanya nyeletuk “Coba senyumnya ga di lempar, tapi dikaihkan secara baik-baik, pasti deh saya ngebalas”. Untung saja jawaban asal-asalan seperti itu bisa membuatnya menanggalkan cap sombongnya pada saya. Malah, saya ingat betul waktu itu, Ia malah tersenyum dan eit… kali ini dengan sigap saya membalas senyumnya dengan senyum terbaik yang saya miliki…” hitung-hitung sekali menepuk dua lalat yang mati. Sekali senyum bisa ngilangin sombong sekalian tebar pesona… hi..hi...
Tapi teman saya (atau tepatnya atasan kerja saya dulu) punya nasib yang lebih buruk lagi. Ia di vonis sombong sama dokter spesialis penyakit hati alias Guru Tasawwuf tempat ia menimba ilmu. Teman saya… eh atasan saya itu jelas terkejut. Bukankah Kanjeng Nabi telah bersabda, “tidak bakal masuk surga orang-orang yang punya setitik sombong di hatinya”. Tentu teman saya eh… atasan eh… teman (kok jadi ribet yah!!!, udah deh disebut teman aja yah biar lebih konsisten) tidak mau di bilang sombong apalagi sampai gagal masuk surga gara-gara urusan yang satu ini.
Sebenarnya kalo mau obyektif, teman saya itu memang punya alasan untuk sombong. Bukan apa-apa, kriteria 4 B yang menjadi standar kesuksesan buat pria jaman kiwari dimilikinya dengan point yang cukup memuaskan. Mau lihat brainnya?, Ia berpendidikan tinggi dan lulusan Perguruan Tinggi ternama di Negeri ini. Mau lihat bodynya?, ia punya tampang ok plus tatapan yang mampu membuat hati wanita gedebag-gedebug. Mau lihat behaviournya?, Ia adalah pria yang supel dalam pergaulan. Apalagi bank accountnya?, “jangan tanya deh?. Pekerjaan plus masa depan karir yang cemerlang di BUMN ternama pasti bisa diandalkan secara rutin mengeisi rekening banknya.
Nah, disitulah letak masalahnya. Semakin seseorang nyaris sempurna maka semakin rentan terkena virus sombong. “Trus bagaimana menghilangkannya? Bukankah obat anti sombong belum di jual di Apotik? Vaksinnya juga belum ketemu kan?. So, gimana ngobatinnya?” tanya saya kepada teman saya (kok? ceritanya dibikin dramatis? seperti buku pelajaran zaman sekolahan dulu yah, he..he..). Teman saya tidak langsung menjawab pertanyaan saya, ia malah menahan nafas, eh… saya ikut-ikutan juga menahan nafas… plis… anda tidak usah ikut-ikutan menahan nafas ya!
“Sebagai terapinya oleh Pak Ustadz, Saya di suruh, memakai peci setiap kali harus ke kantor atau keluar rumah” kata teman saya. Memakai peci (songkok/kopiah), untuk orang sekeren teman saya adalah masalah. Kalau ke Mushollah atau ke masjid atau ke acara-acara keagamaan mah biasa dan bukan masalah, tapi kalau kemana-mana harus pakai peci, ini jelas-jelas masalah. Dalam perspektif penampilan dan fesyen, berpeci pada waktu yang tidak tepat pasti mengurangi nilai performa fisik secara keseluruhan. Bukan cuma itu, kesan kampungan dan udik sedikit banyak menempel dalam penilaian sebagian besar orang yang melihat penampilan seperti itu. Pendek kata, dengan bergaya seperti itu, teman saya sedang merendahkan dirinya dari segi penampilan. Sebuah tindakan yang tak akan pernah dilakukannya atau bahkan tak terpikirkan seumur hidupnya.
Tapi mau bagaimana lagi, siapa tahu dengan cara ini, kesombongan yang menyerang hatinya bisa di hilangkan. Akhirnya dengan berat hati, ia melakukan juga terapi yang diberikan gurunya. “Awal-awalnya, sih sulit. Di tempat-tempat umum banyak orang yang memandang saya dengan tatapan yang merendahkan. Bahkan saya pernah di kira sebagai orang yang meminta sumbangan dari panti asuhan” kenang teman saya itu. “Ada rasa malu dan minder berkomplikasi di hati saya, tapi lama-lama saya baru ngeh, kalau itu semua adalah bagian dari proses mengikis kesombongan di hati saya. Alhamdulillah, kalau dulu saya sering merasa sok menjadi orang penting karena punya banyak kelebihan, tapi setelah menjalani terapi itu, saya merasa menjadi lebih rendah hati, sampai sekarang saya sering terkenang-kenang peristiwa itu”. Tambah teman saya itu dengan tatapan mata berkaca-kaca (bagian berkaca-kaca ini tambahan saya biar lebih dramatis..he..he…) ck..ck.. dalam men!.
Sekarang teman saya itu sudah semakin melejit karirnya, punya istri cantik dan hidup mapan. Namun, saya yakin kalau ia bakal tetap rendah hati dan tidak sombong. “Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Kalo saya mah memang dari dulu baik hati, murah senyum dan tidak sombong, buktinya? Saya gak pernah lho, ngomongin kelebihan saya sama orang lain?” Bagus !!!.***

Labels:

Baca lanjutannya !