Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

 

Saturday, December 06, 2008

Ketika cinta tak berakhir di K.U.A

Saya pernah tak menyentuh nasi selama 3 hari gara-gara cinta saya kepada seorang wanita tak berakhir indah di KUA. Teman saya lebih naif lagi, Ia mengkonsumsi obat anjing gila hingga dia bisa menyalak seperti anjing. Itu semua karena kecewa. Bagaimana dengan anda? Jangan-jangan anda punya pengalaman yang lebih buruk?

Tapi jangan sedih, Setiap orang pernah kecewa dengan berbagai motivasi dan alasan. Uniknya, kalau orang lagi kecewa, ada-ada saja cara kreatif dan gila serta kadang tak masuk akal untuk melampiaskan kekecewaan.

Kecewa, adalah sebuah kondisi yang harus dirasakan setiap orang. Kecewa biasanya terjadi sebagai akibat dari jauhnya harapan dari kenyataan.Merasakan kecewa menjadikan kita sadar akan pentingnya harapan. Sebab, ukuran kecewa biasanya berbanding lurus dengan besar harapan yang ada. Orang yang berharap menjadi Presiden tentu kekecewaannya lebih besar dari pada yang kalah mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Orang yang berharap menikah dengan Luna Maya tentu akan saya sarankan untuk tak usah berharap banyak. Maaf! Doi banyak peminatnya bro, ente bakal kalah bersaing!

Lalu haruskah kita seperti judul lagu Sheila on 7, berhenti berharap? Agar tak kecewa ?. Saya rasa tak mungkin. Sebab bukankah harapan itu sendiri menjadi alasan terbesar untuk terus melanjutkan hidup. Tanpa harapan untuk apa lagi melanjutkan hidup di esok hari. Orang yang kehabisan stock harapan disebut sebagai orang yang putus asa. Dan nenek-nenek dari hongkong juga tahu kalau putus asa memicu orang "memaksa merampas takdir kematian dari malaikat maut".

Pertanyaan selanjutnya yang penting untuk dijawab. Mungkinkah orang hidup tanpa kecewa? Dengan penuh keyakinan yang terpancar dari kebeningan hati saya... halah, saya sekali lagi menjawab : tidak mungkin. "Karena tidak semua apa yang kita inginkan akan kita dapatkan" begitu pesan Haji Romli dalam Film Kiamat Sudah Dekat. Tapi, saya pikir perasaan kecewa seperti semua yang ada di dunia ini bisa di menej. Diatur dan dikelola dan ditata sedemikian rupa agar hidup ini menjadi sebuah galery berisi dengan mozaik indah.

Caranya bagaimana? Menurut saya adalah dengan membangun harapan yang sangat besar bahkan sebesar-besarnya. Lho! Bukankah resikonya akan lebih besar lagi? Santai Bos! Yang menjadi masalah sebenarnya bukan seberapa besar harapan kita. Tapi kepada siapa kita sandarkan harapan kita?

Kalau kita menyandarkan harapan kepada kekasih kita percayalah ia akan mengecewakan kita. Kenapa? karena ia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua harapan dan asa kita. Kenapa? karena ia juga memiliki keterbatasan dan keterbatasan itupula yang menjadi pemicu kekecewaan kita.

Maka saya pikir kalau mau menyandarkan harapan. Kita harus pilih-pilih tidak main asal comot. Dan saya merekomendasikan pada anda untuk menyandarkan harapan kepada tempat bergantungnya sesuatu. Siapa lagi kalau bukan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Bagi sebagian orang mungkin pemikiran saya terlalu klise dan berbau "Pancasilais" (sekedar catatan Matakuliah pancasila saya dapat nilai A lho). Tapi berdasarkan bukti dan pengalaman cara inilah yang paling efektif untuk meredam kekecewaan.

Caranya bagaimana? Cukuplah anda hanya berharap kepada Allah saja. Lalu perhatikan keajaiban yang anda dapatkan?  Hanya segitu? Ya iya sih, masa' ya iyalah. Elvi sukaesih kan? bukan Elvi Sukaelah. Cape' deh perasaan dari tadi nanya mulu'.

Maksudnya anda jalani dulu sendiri, namanya juga pengalaman harus dibuktikan sendiri. Sebab, sungguh terlalu kalau saya harus menuliskannya buat anda tanpa memberi kesempatan buat anda untuk mengalaminya sendiri. Jadi... Sorry ya bro! saya masih banyak kerjaan lain. []

Labels:

Baca lanjutannya !

Monday, December 01, 2008

Belajar Mencintai Sinetron

Seorang perempuan menangis tersedu-sedu, wajahnya yang cantik kelihatan berusaha keras mengeluarkan airmata. Biarpun cairan bening itu sukses mengalir deras tapi tanda-tanda pendukung tangisannya tak tampak dari wajahnya yang halus. Tak ada hidung merah, tak pula ingus yang mengalir seperti lazimnya orang menangis pada umumnya. Sementara itu dua orang perempuan berdiri dengan congkak disampingnya. Wajah kemarahan berlebihan dengan sorot mata yang lebih galak dari mata Rahwana seperti ingin mengunyah perempuan disampingnya hidup-hidup. Mungkinkah, mereka saudara seperguruan Sumanto?

Anehnya ini bukan pertama kali terjadi. Entah sudah berapa kali kejadian ini berulang-ulang seperti deja vu yang membosankan. Parahnya sang perempuan yang teraniaya memilih bersabar. Untuk sebuah alasan yang maha romantis. Ini semua karena C.I.N.T.A....

"Goblok, Bodoh... kenapa tidak melawan, coba kalau saya... pasti akan saya hajar" makian perempuan dari rumah tetangga terdengar lebih emosional dan alami.
Sementara saya hanya menarik nafas dan dengan wajah bijak disertai penghayatan yang mendalam. Hanya bisa berdehem dalam puncak pencapaian kebijakan tertinggi lalu berkata... "Hhh... Therlhalhu...".

Kawan, apa yang saya ceritakan diatas adalah dua dunia yang berbeda tapi bertemu secara realtime dalam ruang waktu yang sama. Bagian perempuan teraniaya adalah kejadian di sinema elektronik (saya sengaja tidak menyingkatnya biar bisa berbagi pengetahuan bagi yang belum tahu, he...he...). Adegan perempuan memaki dan sosok pria tampan nan bijak itu adalah kejadian nyata senyata-nyatanya. Perkenalkan perempuan yang memaki-maki itu adalah tetangga saya pecinta sinetron sejati dengan jam terbang lebih dari 15 tahun sedangkan lelaki bijak nan tampan, gagah perwira itu adalah seorang pria muda dengan wajah yang sangat mirip dengan Duda Herlino, mantan dari Janda Herlina he he...

Sinetron kita memang berhasil menganeksasi wilayah kesadaran banyak orang. Apalagi ibu-ibu rumah tangga yang memang mengandalkan Sinetron sebagai hiburan favorit. Secara kualitas sinetron kita memang tak ada apa-apanya. Dengan plot cerita yang lebih kurang sama. Bukannya mau suudzon tapi para kreator sinetron kita (dengan beberapa pengecualian) memang sudah tak punya rasa malu lagi menjadi hamba rating selain menjadi hamba Tuhan. Mereka tak segan-segan mengabaikan akal sehat penonton bahkan rela mengkloning ide yang sama berulang-ulang tapi dalam kemasan judul yang berbeda-beda.

Plot kisah cinta Cinderella Complex tentang perempuan miskin berjuang mendapatkan cinta dari seorang pria kaya. Tapi ternyata dikemudian hari si perempuan miskin ternyata adalah anak orang kaya yang hilang ketika kecil, membuat saya semakin bingung akan fakta atau gossip, berapa banyakkah anak orang kaya yang hilang di negeri ini?.

Dari segi kualitas akting, saya juga melihat bahwa kualitas akting para penonton yang larut dalam penjiwaan saat mengikuti jalan cerita kelihatannya jauh lebih baik dari pada akting maksa bin lebay dari para artis dan aktor yang hanya mengandalkan tampang itu.
Saya sudah berusaha mencoba mencintai sinetron Indonesia. Tapi tak bisa! Sinetron kita terlalu sulit untuk dicintai. Alur cerita yang tak jelas, Menjual mimpi, kisah cinta yang berlebihan membuat saya jadi kehilangan rasa terhadap sinetron kita. Belum lagi melihat tampang bintang yang hanya menjual tampang dan body sexy. Tapi mau apalagi, ada survey eh suplly ada demand. Begitu kata dosen Ilmu ekonomi menjawab soal perihal selera pasar.

Meski demikian ada satu atau dua Sinetron yang bagus dan layak ditonton. Biasanya sinetron seperti ini mengangkat genre yang berbeda dan digarap dengan idealisme berkesenian yang tinggi seperti hasil garapan Bang Haji Deddy Mizwar, atau Rano Karno, selebihnya? Mending nonton acara makan-makan saja sekalian. Btw, kalau saya di tawari Oom Raam Punjabi untuk jadi lawan main Sandra Dewi di Sinetron striping, enaknya gimana ya ¿[]

Labels:

Baca lanjutannya !

Orang GIla di Kampus Biru

Cuaca panas memang sedang memanggang Makassar siang itu. Tak terkecuali Kampus bercat biru Akademi tempat kami menjadi kuli, eh salah kuliah.
Kelas kami yang notabene kelas buangan dan di padati mahasiswa berotak ala kadarnya dengan susah payah mengikuti mata kuliah yang di bawakan perempuan mungil berjilbab hitam itu.
"Sun**** (makian dalam bahasa makassar)... kenapa ki juga harus belajar hitung-hitungan yang nda' bisa ki di pakai menghitung beras..." Maki Wuriyanto mahasiswa berbadan besar di samping saya dengan logat Mangkassara yang kental. Saya mengangguk setuju. Mata Kuliah Kalkulus atau Matematika memang matapelajaran yang membosankan.
Untung saja suasana yang menjemukan ini sedikit mencair setelah perempuan yang di panggil Bu Dosen itu memanggil Buyung salah seorang rekan kami untuk maju mengerjakan soal di papan tulis.

Lelaki kerempeng berkepala botak itu melangkah dengan gontai. Ditimpali suit-suit dan tepuk tangan layaknya artis dangdut kampung yang akan naik Panggung membuat Buyung tampak lebih percaya diri. Beberapa teman mahasiswi malah meneriaki Buyung. Ewako Buyung!!! Meski begitu, Jangan kira kata-kata mantra yang menjadi kata sakti bagi tim kesebelasan Juku Eja PSM-Makasar itu akan membuat Buyung berhasil mengerjakan soal. Sebab, tanpa bertanya kepada paranormal sekelas Mama Laurent (astaghfirullah... syirik tau) nasib Buyung sudah bisa ditebak. Ia tak lebih dari representasi sekitar 70-an mahasiswa di kelas saya yang takkan mampu menjawab soal kalkulus sesulit itu.

Tapi Buyung memang mahasiswa yang baik, setidaknya di siang itu. Meskipun ia sama sekali tak paham apalagi mampu menjawab tapi ia tampak terlihat serius memandangi soal di white board. Hampir 1 menit ia terpaku di papan tulis. Sementara histeria supporter tak dapat di bendung kegaduhannya. Dan kegaduhan itu semakin tak terkendali ketika Buyung memutar tubuhnya menyisi whiteboard sambil memandang kearah ke dosen dengan tatapan menyerah.
"Maaf bu saya nda' bisa mengerjakan, mungkin sejak kecil saya tidak berbakat matematika" ungkap Buyung diplomatis sambil mencoba memaksa tampangnya agar terlihat se-cute mungkin. Sayang wajah cute yang dipaksakan itu tak banyak membantu apalagi mampu meredam kegaduhan. Sebaliknya mahasiswa-mahasiswa menyedihkan itu seakan menuju puncak trance kegaduhan yang tak terkendali mendengar pernyataan Buyung yang mengada-ada. "Buyung bakatnya jadi Tukang Becak bu"... he he, Sebuah celetukan nyaring dari belakang memperkuat alibi bahwa buyung memang ditakdirkan untuk memiliki bakat di bidang lain. Dan bidang itu Bukan matematika.

Perempuan yang dipanggil Bu dosen itu tak menanggapi jawaban Buyung. Sebaliknya ia menegakkan pandangan kearah kami yang sedang tenggelam dalam euforia kegaduhan level tinggi dalam kesibukan perayaan kebodohan kami.
Demi melihat tatapannya. Spontan kami berhenti dan terdiam sejuta bahasa. Sejurus kemudian --meminjam bahasa Kho Ping Hoo—kami merasa jerih dengan tatapan matanya, bagaimanapun perempuan muda ini adalah Dosen kami, sebagian nasib nilai kami berada ditangannya. Dan kalau saja ia sampai melaporkan kejadian ini kepada Ketua Jurusan, urusan bisa tambah gawat. Begitu kira-kira alasan kolektif yang membuat kami bersepakat diam meski tak dikomando.

"Kalian tahu, apa yang membedakan antara orang gila dengan orang waras? " tanya perempuan itu dengan suara datar namun menggema di ruangan yang padat itu.
Kami saling berpandangan, sebab ini bukan pertanyaan kalkulus yang menyuruh kami menemukan dimana titik ekstrim dari variabel-variabel laknat itu berada. Tapi ini pertanyaan filosofis, substansial hingga menyentuh aspek ontologis, epistemologis dan axiologis sekaligus (halah). Dari pada menjiplak jawaban konyol Buyung dengan mengatakan "Bahwa sejak kecil kami juga tidak berbakat menjadi orang gila" maka diam adalah hal yang paling cerdas dilakukan bila tak tahu jawaban yang pasti.


"Kalian tahu?" Tanyanya sekali lagi mendesak meski nada suaranya tetap tak berubah. "Tidak bu !!!" kali ini koor lirih suara kami kompak tapi fales mirip paduan suara Tujuh belas agustusan yang kurang latihan.
"Beda orang gila dan orang waras adalah orang gila tidak mampu membedakan kapan dia harus serius dan kapan dia harus tertawa, sementara orang waras pasti bisa membedakannya" ungkapnya dengan artikulasi dan pitch kontrol yang pas. Pernyataan ini spontan membuat kami semua terdiam dan cepat-cepat menghapus tawa kami dari ruangan. Saya pikir kami semua sedang berusaha mempertahankan kewarasan kami dengan berusaha serius siang itu.

Kawan, tahukah kamu apa Moral of the story dari cerita ini? Jawab : jangan pernah belajar matematika di siang hari yang panas.[]

* kenangan manis dari kampus biru di minasa-upa

Labels:

Baca lanjutannya !

Monday, October 13, 2008

Gossip is special

Tatapan matanya yang berbinar indah selalu memaksa saya untuk memuji keagungan Tuhan. Tapi tidak untuk sore itu. Tatapan itu lagi berbinar penuh tenaga, tapi lebih menyiratkan aura keletihan. Meski pelan saya mendengar helaan berat berhembus dari hidungnya. Teman saya ini memang tengah berhadapan dengan masalah yang akut. Keceriaan remaja yang biasanya mengaurai pertemanan kami, sore itu juga tak hadir, ia absen tanpa izin entah kemana. Pelataran yang di penuhi riuh rendah suara orang juga tak banyak membantu membuat otot-otot wajahnya menyemburatkan senyum dalam waktu yang lama. Kalaupun sempat otot-otot wajahnya membentuk simpul itupun hanya dalam hitungan detik sebelum kembali ke posisi semula: lelah, dingin tanpa ekspresi.

Sore itu dipelataran yang penuh sesak lalu lalang orang. Sementara kami sedang berbagi tugas sebagai komitmen dari kesungguhan pertemanan. Ia bercerita dan saya mendengarkan sambil pura-pura membaca koran. Diam-diam saya tersenyum sendiri ketika menyadari gaya saya membaca koran mirip sekali dengan gaya film drama 80-an. Dimana orang tua yang bijak dan sok tau selalu digambarkan dalam posisi membaca koran sementara sang anak bercerita disampingnya. Satu-satunya yang membedakan adalah saya belum mandi di sore itu.

"Saya lelah", katanya memulai perbincangan kami. Tak lama berselang dengan suara yang rendah dan konstan ia lalu bercerita masalah besar yang tengah dihadapinya. Sebuah fitnah rasa keji (dimana-dimana fitnah rasa keji… emang roti rasa keju) dilontarkan kepadanya. Parahnya fitnah dan gosip itu secara terbuka telah memasuki organ-organ vital dalam wilayah kehidupan sosialnya. Tak cukup sampai disitu fitnah bin gosip itu juga telah menggerogoti rasa percaya orang-orang terdekatnya. Tak sedikit orang-orang dekatnya yang mulai mengkonfirmasi kebenaran fitnah itu, mulai dari cara yang halus hingga cenderung menuduh menyudutkan. Sayangnya kawan saya ini bukanlah seorang selebritis, makanya ia tak memiliki kemampuan yang cukup untuk memproteksi dirinya dengan kalimat sakti no comment, sebaliknya ia terpaksa harus meladeni satu persatu konfirmasi dengan hati yang terluka.

"Hari-hari saya benar-benar melelahkan, sampai-sampai saya tak bisa membedakan lagi antara
tertawa dan menangis" akunya dengan nada yang datar. Mendengar pernyataannya yang agak berbau sinetron itu saya tertawa meskipun berasa garing, lalu bertanya pendek padanya. "Kalau ini ketawa atau menangis?" tanya saya. Tiba-tiba ia ikut tertawa. Berhasil! Setidaknya tawanya yang sempat lepas beberapa saat membuat suasana sedikit berubah persis iklan Lucu yang memotong durasi sinetron Indonesia yang membosankan dan tidak bermutu. "Kamu lebay, buktinya kamu masih bisa membedakan tertawa dan menangis," kata saya setengah bercanda diantara deraian tawa kami.

"Masalah kamu memang cukup serius, Tata surya kehidupan kamu semua telah dimasuki oleh masalah kamu,mulai dari tempat kerja, rumah hingga pergaulan sosial" kata saya sok memberikan peta masalah kepadanya. Karena kata Psikolog kondang John Gray. "Jika kamu mendengarkan masalah orang lain jadilah cermin yang membantu ia untuk lebih mengetahui masalahnya, dengan mencoba empati padanya" begitu kira-kira simpulan yang saya tangkap dari buku-buku si Oom Gray.

Jam 5 lewat 5 kami berpisah ia pergi masih dengan wajah yang lelah. "Mau pulang tidur" katanya pendek. Dan saya hanya bisa mengiringi kepergiannya dengan tatapan plus wajah yang prihatin kalau tidak bisa dibilang ikut-ikutan ngantuk karena belum mandi. Sorry kawan saya tak bisa banyak membantu.
***
Diterpa gosip miring atawa fitnah memang tidak mengenakkan. Ada reputasi diri dan orang dilingkungan sekitar yang ikut terkena imbas. Itulah sebabnya Tuhan menyebutkan Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Karena memang Fitnah membunuh karakter orang hidup-hidup, dan bisa menyebabkan orang yang di fitnah mengalami kematian harga diri, bahkan kematian kredibilitas.
Itulah sebabnya fitnah adalah sesuatu yang sangat spesial. Kenapa spesial? Karena pake telor… he he sorry ding. Karena fitnah itu hanya dilakukan oleh orang-orang spesial.Siapa mereka? yaitu orang-orang yang tega memakan bangkai saudaranya dalam keadaan hidup. Ngeri ga' tuh?. Sadis mana dengan lagunya Afghan? Tapi memang begitulah Tuhan menggambarkan kesadisan tukang fitnah dalam Kitab suci AlQuran.
Tapi tau ga' seeh? (tolong dilafalkan dengan gaya ABG yang kental dengan sedikit memonyongkan bibir. ya begitu!) Kalau fitnah itu juga hanya terkena ke orang-orang yang spesial pula. Nabi Muhammad Saw misalnya beliau pernah difitnah sebagai tukang sihir, dukun bahkan orang gila. Tapi toh waktu juga membuktikan bahwa beliau tak seperti yang dituduhkan. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Lalu bagaimana cara melawan fitnah?. Menurut saya fitnah itu hanya bisa dilawan dengan doa dan pembuktian. Doa adalah permohonan bantuan kepadaNya agar di bersamaiNya dalam keindahan kesabaran dan ketegaran. Dan biasanya doa bekerja dengan cara yang unik. Sebab Tuhan tempat kita meminta punya bermilyar-milyar cara untuk menghentikan fitnah. Cara yang mungkin paling sederhana adalah menghentikan penyebaran fitnah dengan menghapusnya dalam daftar pembicaraan yang lagi happening dikalangan para gossiper.
Sementara pembuktian adalah hari esok yang akan membuktikan bahwa fitnah itu memang tak pernah terjadi. Kata orang arab Waktu adalah bagian dari penyelesaian.
Tapi kalau saya yang difitnah… akan saya datangi mereka satu persatu, lalu saya tangkap kerah bajunya dan dengan wajah bengis layaknya Willem Dafoe saya berkata "Mau kamu apa seeh…!" Eh… maaf… maaf saya kebawa emosi. Ingat!!! Don’t try this at home.

Labels:

Baca lanjutannya !

Sunday, March 02, 2008

Menikmati hidup

Konon hal yang paling sulit di dunia ini adalah menikmati hidup.

Setelah bekerja keras mengumpulkan receh-demi receh (ngamen kali he…) menjadi sederetan angka di deposito. Terkadang masih juga sulit untuk menikmati hasil keringat itu.

Saya malah pernah membaca cerita tentang seorang pria yang menabung dengan susah payah untuk dapat menggelar honey moon kedua bersama istrinya. Tapi, alih-alih berbuah kebahagiaan. Acara honey moon ini bahkan dipenuhi dengan pertengkaran yang berunjung pada perceraian.

Adalagi kisah seorang pria yang kesohor diseluruh pelosok dunia. Popularitas dan kekayaannya melimpah. Sebagai seorang vokalis band yang dielu-elukan penggemar ternyata tak cukup membuatnya menikmati hidup. Satu-satunya yang bisa membuatnya menikmati hidup adalah bercumbu dengan minuman beralkohol. Sebuah kebiasaan yang mengantarkannya ke akhirat melalui sebuah prosesi menghabisi diri sendiri dengan salakan pistol di tengkorak kepalanya. Siapa dia? Ah tak enak membicarakan seseorang yang sudah mati.

Masih banyak lagi contoh orang yang gagal menikmati hidup. Tapi banyak juga kisah orang yang menikmati hidup dengan sukses. Saya tak perlu menyebutkannya, karena saya percaya anda juga sudah punya referensi itu. Bahkan, bisa jadi anda termasuk dalam orang yang mengaku bagian dari kelompok yang sukses ini (he..he.. cape deh).

Pertanyaannya sekarang apa sih yang dimaksud dengan sukses? Apapula ukurannya? Harta kah? Jabatan kah ? atau apakah ?. Kata kawan saya untuk melihat kesuksesan seseorang cukup lihat Handphone yang digunakan? Keluaran terbarukah atau ?. Ok…ok… dari pada mendengarkan fatwa teman saya yang sudah menjadi seorang kapitalis peranakan lebih baik kita menyimak pendapat yang lebih sahih. Menurut Reza Syarif dalam Life Excellent menyebutkan bahwa sukses itu dipandang dengan sudut pandang budaya. Bila sudut pandang budaya orang Amerika yang di pakai, maka sukses itu adalah Power (kekuasaan), Properti (kekayaan) dan Position (posisi). Budaya Orang Cina kata Reza lain lagi. Mereka mengukur kesuksesan dengan sudut pandang Shio (umur panjang) Hok (kekayaan) dan Lok (jabatan). Masih kata Reza, kalau orang Indonesia menstandarkannya dengan Tiga Ta : Harta, Tahta, Wanita. Lalu mana ukuran kesuksesan yang benar? Ga’ tahu lah.

Tapi kalau saya ditanya apa ukuran kesuksesan menurut saya? Maka jawaban saya adalah orang yang sukses adalah orang yang menikmati kehidupan. Menikmati yang saya pahami bukanlah mengejar kenikmatan dengan menjadi kaum hedonis tanpa mengindahkan norma dan segala macamnya. Bukan, bukan begitu maksud saya. Tapi, yang saya maksud dengan menikmati adalah menikmati setiap apa yang di dapatkannya dalam kehidupan dengan penuh kesyukuran dan pemaknaan.

Masih ingat dengan mantan bos saya? (lihat gih tulisan terapi sombong). Dalam suatu kesempatan ia bercerita tentang salah seorang rekan kerja ayahnya yang begitu bahagia menjalani hidup ditengah kesederhanaan. Ketika ditanya apa rahasia kebahagiaannya. Orang itu menjawab. “Hidup saya terasa ternteram dan bahagia, karena saya tak punya keiginan yang macam-macam dan berlebihan. Saya tak berkeinginan punya rumah yang besar atau kebun yang luas. Saya juga tak punya keinginan untuk punya kendaraan mewah. Saya mensyukuri dan menikmati apa yang diberikan gusti Allah kepada saya dengan hati yang lapang”.

Cerita ini membuat saya percaya bahwa kesuksesan itu terletak pada rasa cukup dan bahagia dengan apa yang diberikan Tuhan pada kita dan kemampuan untuk mengendalikan keinginan-keinginan kita yang berlebihan. Itulah sebabnya saya tak mau ikut-ikutan ganti handphone seperti yang lain biar dibilang sukses. Tuh kan mulai lagi eleh…[]

Labels:

Baca lanjutannya !