Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

 

Friday, May 18, 2007

Merayakan ulang tahun dengan kematian

Hanya selisih 7 hari, waktu kelahiran saya dengan dia. Tapi Allah Swt, lebih dulu memutuskan untuk mengakhiri masa aktifnya di dunia. Sementara saya mungkin masih diberi masa tenggang -entah sampai kapan--.

Hari ini, ketika jarum jam menghampiri jam 10 pagi. Sang Maut menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk menjemput pulang Ikbal kembali keharibaanNya.

Ikbal nama kawan saya itu, meninggal dunia setelah hampir seminggu berjuang mengalahkan diabetes dan tetanus yang menggerogoti tubuhnya. Padahal, kira-kira seminggu sebelumnya, saya sempat memergokinya tegak berdiri memandangi laut, dari tempat tinggal kami yang memang berada di ketinggian. Tak ada yang paham benar, termasuk istri yang baru beberapa bulan dinikahinya tentang penyakit yang ia derita. Memang secara fisikal tampak perubahan yang signifikan dari bobot tubuhnya, namun tak ada yang menyangka kalau itu semua adalah penanda bahwa ia akan segera di panggil pulang oleh sang Maha Pemilik Segala Sesuatu.

Sebelum ia masuk dan diinapkan di rumah sakit, sebuah bisul kecil di kanan tangannya menjadi penyebab awal perjalanannya menuju sang Khalik. Padahal bisul kecil itu bermula dari sebuah goresan kecil yang semestinya tidaklah beresiko kematian. Tapi kematian juga memiliki logika yang kadang dimulai dari hal yang remeh temeh. Siapa sangka jika bisul kecil itu ternyata dengan sangat cepatnya mengkonsolidasikan komplikasi dengan Diabetes dan Tetanus. Dan kedua penyakit inilah yang kemudian memuluskan logika dari sebuah penyebab kematian.--Mahasuci Allah, Swt sang maha mengetahui, betapa banyak cara baginya untuk mengatur kehidupan dan kematian.

Hari ini, sehari setelah saya memperingati 29 tahun kelahiran saya. Saya menjadi begitu menghargai kehidupan. Semalam pada sebuah percakapan telepon dengan seorang kawan, disela derai candaannya. Ia mengomentari hari ulang tahun saya dengan pernyataan singkat “Buat apa memberi selamat kepada orang yang semakin dekat dengan kematiannya”, Ungkapan yang terdengar renyah --dari suara cemprengnya yang khas--. Sementara itu saya dengan bodohnya ikut terkekeh mendengarkan komentarnya, tanpa mengindahkan kedalaman filosofis dari ungkapan itu.

Pagi ini, kematian Ikbal memaksa saya untuk lebih “ngeh” dengan pernyataan kawan saya. Bahwa sejatinya setiap hari yang kita lalui adalah bagian dari proses menghabiskan masa hidup kita. Ulang Tahun yang kita peringati setiap tahun dengan keriangan, ternyata tak lebih dari tapal penunjuk jarak kedekatan antara kita dengan kematian. Sedianya semakin dekat kita dengan kematian membuat kita semakin peduli untuk mempersiapkan bekal. Beberapa pertanyaan besar berkelebat menohok kesadaran saya. Sudahkah hidup saya berselaras dengan titahNya?, Sudahkah saya selalu berserah dengan setiap putusanNya? Atau jangan-jangan…? Bagaimana dengan aktivitas horizontal saya?, sudahkah saya menjadi penyebar bahagia bagi sesama? Sudahkah saya mengantongi maaf dari orang-orang yang pernah saya sakiti? Kalau belum berarti saya belum begitu siap untuk mati. Masalahnya adalah saya tak punya kuasa untuk melakukan negosiasi untuk memajukan atau mengundurkan kematian walau sedetik. Jadi bagaimana nih…weleh kok jadi serem dengan tulisan sendiri…[]

Satu hari setelah saya berusia 29 tahun di bulan April 2007
Thx buat Ri atas telponnya
.

Labels:

Baca lanjutannya !