Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

 

Friday, May 18, 2007

Menghargai Kesepian

Kesepian ternyata seperti rasa lapar bukan diluar tapi didalam diri seseorang. Kesepian itu berarti merasa kekurangan sesuatu. Sesuatu yang harus ada namun tak tahu apakah itu.
(Eiji Yoshikawa dalam Musashi)


Pernahkah anda merasakan kesepian? Jika belum… Selamat !! anda termasuk orang-orang yang beruntung. Tapi pernahkah anda membayangkan suatu ketika nanti, anda akan melewati masa-masa ini. --Maaf, jangan berasumsi saya sedang berbicara tentang kuburan atawa kematian, toh proses ini adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa di tolak--. Yang saya maksudkan adalah kesepian sejati yang lahir dari sebuah kehampaan sebagai kegagalan berinteraksi dengan lingkungan. Mungkin alienasi istilah yang tepat untuk menggambarkan keadaan ini?
Kalau anda belum juga bisa membayangkannya. Berarti sekali lagi saya mengucapkan selamat!! Artinya -setidaknya-sampai dengan anda membaca tulisan yang bodoh ini. Anda masih termasuk orang yang memiliki acceptability yang tinggi plus kemampuan adaptasi yang baik. Tapi percaya atau tidak, banyak orang yang tak seberuntung anda dalam menapaki hidup. Banyak orang yang setiap harinya menerima penolakan dan lelaku yang tak bersahabat dari sekitarnya. Sehingga mereka merasa terasing dan sendirian menjalani hidup. Orang-orang seperti ini kadang kala merasa gagal dalam menjalin relasi dengan sekelilingnya. Mereka menjadi orang yang setiap hari seperti dipaksa semakin sensitif oleh lingkaran sekitar tempat ia bermukim.

Kawan saya misalnya sebut saja Ariana. Kami bersama sejak SD sampai SMA bahkan ketika kuliahpun kami nyaris memilih Universitas yang sama. Sayangnya, diantara saya dan dia ada keberjarakan yang begitu luas menganga. Entahlah, tapi sejak usia belia Ariana bukan termasuk orang yang suka bergaul. Ia lebih suka menyendiri ketika jam istirahat tiba. Bahkan herannya ia nyaris tak berkomunikasi dengan teman sekelasnya. Termasuk dengan saya. Dalam ingatan saya yang mulai memudar (ehm…ehm). Ariana tidak punya geng sebagaimana lazimnya anak-anak SMA ketika itu. Apalagi kawan akrab. Saya juga tak pernah melihatnya didekati atau menunjukkan sinyal sedang mendekati lawan jenisnya. Nampaknya dalam hal yang satu ini ia termasuk penganut kepercayaan Jomblo juga bisa bahagia. Pokoknya ia serba introvert, tertutup dan misterius.

Disebuah siang cukup panas saya bertemu dengan seseorang yang tak lain adalah Ariana.Banyak hal yang berbeda dari dia. Jika dulu ia mengenakan jilbab, kini tanktop lengkap dengan dandanan yang menor berlebihan membuat saya agak kesulitan mengenalinya.Bicaranya pun ngawur dan menunjukkan sesuatu yang tak beres dari dirinya.Ia mengulang-ngulang sebuah pertanyaan yang membuat saya miris.“Saya tambah cantikkan?, Saya makin cantikkan?” sambil memegang erat lengan kemeja yang saya pakai. Waktu itu, hanya anggukan yang tak bertenaga sebagai ekspresi kebingungan saya. Sampai akhirnya seorang wanita yang melewati kami memberi tanda kepada saya dengan menyilangkan jari telunjuk di kepalanya, tanda itu membuat saya kemudian mengerti apa yang terjadi dan siapa yang saya hadapi sesungguhnya.Innalillahi.. Ariana sedang sakit.

Schizofernia, nama penyakit yang dideritanya --kalau tidak salah. Itu istilah medis dari penyakit Gila sebagaimana sebutan orang-orang kebanyakan. Pada pengetahuan saya yang cetek ini schizofernia adalah penyakit jiwa yang salah satunya disebabkan oleh depresi, semacam akumulasi stress yang tidak terkendali. Dalam sebuah konfirmasi kecil-kecilan kepada seorang kawan Ariana yang lain, saya mendapat kabar bahwa Ariana stress setelah Gita Cintanya di Kampus Biru berujung dengan kegagalan. “Parahnya, ketika itu ia tak memiliki kawan yang menyediakan telinga untuk menampung keluh kesahnya, juga tak ada hati yang cukup menyediakan ruang empatik untuk melapangkan kesedihannya” begitu kesimpulan yang disampaikan oleh kawan Ariana yang juga adalah kawan saya. Untuk sementara saya memilih berdiam diri mendengar pernyataan itu. Benarkah kesepian dalam kesendirian akan melahirkan kenyataan yang setragis ini? Belum sempat saya menemukan jawaban ini ketika,…

Maaf ada SMS... mohon tunggu sebentar…
Oh ternyata dari seorang kawan isinya meminta saya untuk menemaninya curhat malam nanti…
Kalau begitu mohon maaf saya tidak bisa melanjutkan tulisan ini, sebab saya harus bersiap-siap menemaninya curhat bukan hanya menyediakan telinga tapi juga mencoba membuka hati untuk kesedihan yang sangat mungkin menderanya…
Agar ia tak merasa sendiri atau kesepian, agar ia …
Ah sudahlah semoga tak ada lagi kisah yang tragis…[]

Segumpal penyesalan untuk Ariana-teman SMA saya-- Maafkan saya kawan.

Labels:

Baca lanjutannya !