Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

 

Monday, December 01, 2008

Orang GIla di Kampus Biru

Cuaca panas memang sedang memanggang Makassar siang itu. Tak terkecuali Kampus bercat biru Akademi tempat kami menjadi kuli, eh salah kuliah.
Kelas kami yang notabene kelas buangan dan di padati mahasiswa berotak ala kadarnya dengan susah payah mengikuti mata kuliah yang di bawakan perempuan mungil berjilbab hitam itu.
"Sun**** (makian dalam bahasa makassar)... kenapa ki juga harus belajar hitung-hitungan yang nda' bisa ki di pakai menghitung beras..." Maki Wuriyanto mahasiswa berbadan besar di samping saya dengan logat Mangkassara yang kental. Saya mengangguk setuju. Mata Kuliah Kalkulus atau Matematika memang matapelajaran yang membosankan.
Untung saja suasana yang menjemukan ini sedikit mencair setelah perempuan yang di panggil Bu Dosen itu memanggil Buyung salah seorang rekan kami untuk maju mengerjakan soal di papan tulis.

Lelaki kerempeng berkepala botak itu melangkah dengan gontai. Ditimpali suit-suit dan tepuk tangan layaknya artis dangdut kampung yang akan naik Panggung membuat Buyung tampak lebih percaya diri. Beberapa teman mahasiswi malah meneriaki Buyung. Ewako Buyung!!! Meski begitu, Jangan kira kata-kata mantra yang menjadi kata sakti bagi tim kesebelasan Juku Eja PSM-Makasar itu akan membuat Buyung berhasil mengerjakan soal. Sebab, tanpa bertanya kepada paranormal sekelas Mama Laurent (astaghfirullah... syirik tau) nasib Buyung sudah bisa ditebak. Ia tak lebih dari representasi sekitar 70-an mahasiswa di kelas saya yang takkan mampu menjawab soal kalkulus sesulit itu.

Tapi Buyung memang mahasiswa yang baik, setidaknya di siang itu. Meskipun ia sama sekali tak paham apalagi mampu menjawab tapi ia tampak terlihat serius memandangi soal di white board. Hampir 1 menit ia terpaku di papan tulis. Sementara histeria supporter tak dapat di bendung kegaduhannya. Dan kegaduhan itu semakin tak terkendali ketika Buyung memutar tubuhnya menyisi whiteboard sambil memandang kearah ke dosen dengan tatapan menyerah.
"Maaf bu saya nda' bisa mengerjakan, mungkin sejak kecil saya tidak berbakat matematika" ungkap Buyung diplomatis sambil mencoba memaksa tampangnya agar terlihat se-cute mungkin. Sayang wajah cute yang dipaksakan itu tak banyak membantu apalagi mampu meredam kegaduhan. Sebaliknya mahasiswa-mahasiswa menyedihkan itu seakan menuju puncak trance kegaduhan yang tak terkendali mendengar pernyataan Buyung yang mengada-ada. "Buyung bakatnya jadi Tukang Becak bu"... he he, Sebuah celetukan nyaring dari belakang memperkuat alibi bahwa buyung memang ditakdirkan untuk memiliki bakat di bidang lain. Dan bidang itu Bukan matematika.

Perempuan yang dipanggil Bu dosen itu tak menanggapi jawaban Buyung. Sebaliknya ia menegakkan pandangan kearah kami yang sedang tenggelam dalam euforia kegaduhan level tinggi dalam kesibukan perayaan kebodohan kami.
Demi melihat tatapannya. Spontan kami berhenti dan terdiam sejuta bahasa. Sejurus kemudian --meminjam bahasa Kho Ping Hoo—kami merasa jerih dengan tatapan matanya, bagaimanapun perempuan muda ini adalah Dosen kami, sebagian nasib nilai kami berada ditangannya. Dan kalau saja ia sampai melaporkan kejadian ini kepada Ketua Jurusan, urusan bisa tambah gawat. Begitu kira-kira alasan kolektif yang membuat kami bersepakat diam meski tak dikomando.

"Kalian tahu, apa yang membedakan antara orang gila dengan orang waras? " tanya perempuan itu dengan suara datar namun menggema di ruangan yang padat itu.
Kami saling berpandangan, sebab ini bukan pertanyaan kalkulus yang menyuruh kami menemukan dimana titik ekstrim dari variabel-variabel laknat itu berada. Tapi ini pertanyaan filosofis, substansial hingga menyentuh aspek ontologis, epistemologis dan axiologis sekaligus (halah). Dari pada menjiplak jawaban konyol Buyung dengan mengatakan "Bahwa sejak kecil kami juga tidak berbakat menjadi orang gila" maka diam adalah hal yang paling cerdas dilakukan bila tak tahu jawaban yang pasti.


"Kalian tahu?" Tanyanya sekali lagi mendesak meski nada suaranya tetap tak berubah. "Tidak bu !!!" kali ini koor lirih suara kami kompak tapi fales mirip paduan suara Tujuh belas agustusan yang kurang latihan.
"Beda orang gila dan orang waras adalah orang gila tidak mampu membedakan kapan dia harus serius dan kapan dia harus tertawa, sementara orang waras pasti bisa membedakannya" ungkapnya dengan artikulasi dan pitch kontrol yang pas. Pernyataan ini spontan membuat kami semua terdiam dan cepat-cepat menghapus tawa kami dari ruangan. Saya pikir kami semua sedang berusaha mempertahankan kewarasan kami dengan berusaha serius siang itu.

Kawan, tahukah kamu apa Moral of the story dari cerita ini? Jawab : jangan pernah belajar matematika di siang hari yang panas.[]

* kenangan manis dari kampus biru di minasa-upa

Labels:

Baca lanjutannya !